Skip to content

Buku: 2020 Indonesia dalam Bencana Krisis Minyak Nasional

Indonesia telah masuk ke dalam era krisis minyak bumi. Harga minyak melambung, kapasitas produksi menyusut, sementara inefisiensi kelembagaan maupun regulasi merebak. Masa keemasan bisnis minyak di Indonesia telah usai dan sekarang minyak bumi malah menjadi beban. Di saat negara-negara produsen minyak mempersiapkan diri memulai era keemasan minyak tahap kedua, Indonesia menuju era krisis energi. Dalam kondisi ini, apa yang bakal kita hadapi tahun 2020 dan bagaimana kita menghadapinya?

2020 Indonesia dalam Bencana Krisis Minyak Nasional
Pria Indirasardjana
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
345 halaman, Cetakan Mei 2014
ISBN 978-602-03-0472-4

Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini ditulis oleh Pria Indirasardjana, yang sudah berkarir selama 25 tahun di perusahaan minyak milik negara, PT Pertamina (Persero). Buku ini terdiri dari empat bagian utama yaitu Bagian I: Era Nyaman dan Mapan, Bagian II: Memahami Industri Minyak Bumi, Bagian III: 2020 Paradigma Baru, dan Bagian IV: Penutup, ditambah Apendix.

Secara umum di dalam buku ini, penulis membahas kondisi perminyakan di Indonesia dan segala permasalahannya, seperti perubahan status Indonesia dari negara pengekspor minyak pada tahun 1965 ketika produksi mencapai 486.000 barel per hari sedangkan konsumsi hanya 122.000 barel per hari (halaman 41), menjadi negara net importir minyak (halaman 204).

Mengutip istilah “The Era of Cheap Oil is Over” (halaman 207), penulis mempertanyakan masihkah harga minyak harus murah (halaman 17), sehingga mendesak pola pikir konsumen untuk berubah menjadi paradigma non-subsidi (halaman 209). Penulis beralasan bahwa subsidi yang ada selama ini kurang pas (halaman 44) karena pada prakteknya subsidi selama ini hanya dinikmati oleh konsumen di kota-kota besar. Langkah pemerintah menekan subsidi dari waktu ke waktu juga tampak canggung. Hiruk pikuk mobil listrik, tak terdengar lagi. Kebijakan untuk melarang mobil-mobil berplat merah dan mobil-mobil BUMN yang jumlahnya tidak banyak memakai BBM bersubsidi juga tidak efektif karena tidak sebanding dengan jumlah kendaraan secara keseluruhan. Sosialisasi bahan bakar gas (BBG) juga mandek di tengah jalan. Dengan berbagai alasan, taksi banyak yang meninggalkan BBG, sedangkan transportasi BBG untuk TransJakarta masih bermasalah.

Penulis juga menyoroti pendapat berbagai pakar dan kalangan akademisi yang – dengan argumentasinya – menentang setiap upaya pemerintah menaikkan harga BBM subsidi (halaman 45). Penulis berpendapat bahwa pasal 33 UUD 1945 yang selama ini dijadikan tameng oleh banyak orang yang pro-subsidi, tidaklah bisa dipakai karena pasal tersebut tidak secara eksplisit mengamanatkan bahwa pemerintah wajib memberikan subsidi BBM dan energi. Penulis menegaskan bahwa dalam penjelasan pasalnya pun tidak ada satupun yang menyinggung kata-kata “subsidi” dan “harga murah” (halaman 58). Padahal dengan status sebagai negara dengan defisit minyak, adanya subsidi ini menambah defisit neraca pendapatan dari migas. Penulis juga memberikan contoh singkat di berbagai negara seperti Jepang dan Korea bagaimana pengaturan subsidi BBM yang dialihkan ke sektor yang lebih produktif (halaman 56).

Selain itu, penulis juga mengulas perihal peran Pertamina sebagai perusahaan minyak milik negara, sejak awalnya memegang peran penuh hingga sekarang hanya berlaku sebagai operatorship (pengendali operasi) sebagai wujud implementasi UU nomor 22 tahun 2001. Menangkal tudingan yang selalu membandingkan Pertamina dengan Petronas – perusahaan minyak milik pemerintah Malaysia yang beberapa dekade silam sempat belajar kepada Pertamina – penulis berpendapat bahwa Pertamina dalam pengembangannya selalu terbelenggu tugasnya sebagai penyelenggara layanan publik yang menyebabkan Pertamina tidak bisa agresif memperluas usaha di luar Indonesia dan hanya mampu sebatas pemain lokal (halaman 61). Dalam prakteknya Pertamina juga harus menanggung subsidi terselubung seperti pada kasus gas elpiji kemasan 12 kilogram yang dijual lebih rendah dari harga keekonomian padahal dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas yang mampu membeli dengan harga tanpa subsidi, dan bentuk-bentuk subsidi lain untuk Pemerintah seperti terlambatnya pembayaran tagihan penjualan BBM untuk instansi pemerintah, Polri, TNI atau instansi lainnya (halaman 63).

Di bagian lain, penulis membahas tentang polemik tentang keberadaan Petral sebagai trading arm-nya Pertamina yang berkantor di Singapura dalam membeli bensin premium (halaman 118), ataupun tentang wacana penyerahan blok Mahakam yang selama ini dipegang Total kepada Pertamina, dan juga tentang kilang-kilang minyak yang sudah tua dan belum ada pembangunan baru padahal permintaan tumbuh dengan pesat.

Dengan segala permasalahannya, penulis menawarkan sebuah solusi transformasi menyeluruh dengan gagasan mensinergikan sektor pemerintah dengan sektor perusahaan (baik swasta nasional maupun BUMN) dalam menggelindingkan kejayaan ekonomi bangsa, atau yang disebut Indonesia Incorporated (halaman 279).

Secara khusus, penulis juga menyampaikan sebuah konsep solusi yaitu usulan pembentukan Badan Otorita Percepatan Pembangunan Kilang-Kilang Minyak Baru (halaman 297). Mengapa harus kilang minyak? Karena menurut penulis, kilang minyak adalah sektor industri yang sangat unik dan diperlukan untuk menghasilkan BBM. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, belum ada bahan bakar jenis lainnya yang mampu bersaing dengan minyak dan gas. Penulis berpendapat bahwa industri kilang sangat diperlukan, walaupun juga disadari bahwa industri ini tidak begitu menjanjikan ditinjau dari segi keuntungannya. Namun dibandingkan dengan hanya bergantung kepada pasokan impor atau membangun kilang-kilang minyak baru dengan kapasitas maksimum, penulis mengusulkan untuk membangun kilang-kilang baru secara terbatas, yaitu membangun kilang minyak baru guna menambah dan menggantikan kilang yang sudah tua, sekaligus menekan impor minyak dan BBM sampai pada tingkat tertentu, misalnya 15%-20%. Opsi ini lebih murah namun juga lebih atraktif.

Secara keseluruhan, saya merasa ulasan di dalam buku ini tidak tuntas dan kebanyakan hanya menampilkan informasi umum saja. Urutan penjelasan juga kadang terasa acak, dan hal yang sama dibahas berulang kali di berbagai bagian, sehingga terasa seperti membaca banyak tulisan dalam satu rentetan waktu, bukan sebagai sebuah buku yang runut. Namun, buku ini cukup memberikan gambaran tentang situasi perminyakan di dalam negeri dan juga luar negeri sebagai perbandingan.

No comments yet

Leave a Reply

You may use basic HTML in your comments. Your email address will not be published.

Subscribe to this comment feed via RSS