Skip to content

Buku: Minyak untuk Presiden

Jadi, apakah kita masih akan bertahan dengan paradigma energi murah? Apakah kita masih akan bertahan dengan penguasaan sumber minyak? Inilah sesungguhnya pesan dari 3 catatan di atas yang akan dicoba dibahas dalam buku ini. Harapan pada pemimpin Indonesia ke depan akan perbaikan pengelolaan migas dan energi nasional dan menjadi kesimpulan tentang penekanan penyelesaian permasalahan migas. Harapan yang menekankan pada kesadaran akan krisis energi, upaya membangun kekuatan migas, sampai kepada pengembangan energi alternatif sebagai kebijakan jangka panjang dan bukan kebijakan sporadics dan populis semata.

Minyak untuk Presiden
Pria Indirasardjana
Penerbit PT. Grasindo
267 halaman, Oktober 2014
ISBN: 978-6022-516-781

Buku ini adalah buku kedua yang ditulis oleh Pria Indirasardjana, setelah buku yang berjudul 2020 Indonesia dalam Bencana Krisis Minyak Nasional diterbitkan pada bulan Mei 2014 yang lalu.

Bicara tampilan sampul depan; kalau di buku pertama bergambar tetesan minyak yang besar (berarti banyak?) dari sebuah nozel minyak padahal judulnya krisis, kali ini adalah sebuah dirigen minyak lama dengan photo sang presiden. Namun judulnya yang menarik “Minyak untuk Presiden” memancing keingintahuan terhadap buku ini. Apalagi waktunya cukup pas dengan situasi saat ini dimana Indonesia memiliki pemerintahan baru, dan pemerintahan baru tersebut langsung terjebak dalam paradoks minyak bumi.

Ada dua poin utama yang cukup kuat dari buku Pria yang pertama; yaitu tentang realitas harga energi (atau minyak) yang tidaklah murah dan usulan untuk secara khusus membentuk Badan Otorita Percepatan Pembangunan Kilang-Kilang Minyak Baru. Kedua poin inilah yang ingin saya cari penjelasan lebih lengkapnya melalui buku kedua ini.
Buku ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian I: Transisi ke Masa Depan membahas tentang bagaimana negara-negara di dunia melibatkan kebijakan geopolitik mereka dengan membentuk berbagai aliansi kerjasama regional dalam meningkatkan ketahanan energi negara masing-masing di masa depan. Bagian II: Revolusi Migas – Sebuah Peluang? membahas berbagai perkembangan terbaru dalam teknologi eksplorasi dan produksi minyak non-konvensional yang telah mengubah geopolitik negara-negara di dunia. Sedangkan bagian III: Minyak untuk Presiden mengulas berbagai peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan potensi minyak dan gas di tengah kemelut penyelenggaraannya.

Sama seperti buku yang pertama, buku yang ditulis Pria ini juga memuat banyak informasi referensi. Saya menganjurkan bagi siapa saja yang ingin memahami perkembangan migas dunia secara cepat untuk membaca buku ini. Namun pada buku ini, ulasan terhadap Tiongkok (China) terlalu banyak. Hampir dua pertiga dari isi buku ini mengulas tentang Tiongkok dan kebijakan energinya dengan membangun berbagai aliansi menyongsong tahun 2020; baik itu dengan Amerika Serikat atau yang disebut penulis dengan singkatan Chinam alias China – Amerika Serikat (halaman 15 – catatan: ini pertama kali saya mendengar istilah Chinam) ataupun dengan Chindia alias China – India (halaman 26 – catatan: ini juga pertama kali saya mendengarnya). Penjelasan tentang Tiongkok ini dirasa terlalu berlebihan karena disampaikan tanpa membandingkan secara langsung dengan kondisi di Indonesia.

Mengulas tentang Indonesianya sendiri, Pria menyampaikan informasi yang menarik yaitu tentang Indonesia sebagai negara yang memproduksi minyak bumi ternyata juga mengimpor minyak mentah dan BBM dari negara-negara seperti Taiwan dan Korea Selatan, yang selama ini tak dikenal sebagai negara produsen minyak bumi (halaman 13). Namun, sayang sekali informasi ini berhenti di sini tanpa ada ulasan mengapa ini terjadi dan apa yang harus dilakukan terhadap hal tersebut.

Lebih lanjut, usulan yang begitu kuat untuk membentuk Badan Otorita Percepatan Pembangunan Kilang-Kilang Minyak Baru karena dirasakan sangat penting untuk ketahanan energi nasional yang ditulis Pria pada bukunya yang pertama, seakan menjadi kabur ketika dalam buku kedua ini penulis hanya mengambangkan dua opini yang terpecah sama-sama kuat menyuarakan pendapatnya (halaman 87). Pendapat pertama menyatakan, Indonesia terlanjur menjadi negara importir besar minyak dan BBM. Impor ini cukup murah dan lebih mudah tanpa harus bersusah payah membangun dan mengoperasikan kilang. Lebih baik Indonesia tetap bergantung pada impor minyak dan BBM sebagai pasokan utamanya, dan mempertahankan produksi dalam negeri sebagai swing producer saja. Sedangkan pendapat kedua menyatakan sebaliknya. Indonesia harus menguasai bisnis kilang minyak di dalam negeri, tidak peduli akan membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal. Dengan memiliki kilang sendiri, ada manfaat tak ternilai yang akan diperoleh, yaitu kemandirian terhadap pasokan dari luar negeri, lapangan pekerjaan dan transfer pengetahuan, akses ke pasar migas internasional, serta punya kesempatan untuk tetap eksis di percaturan geopolitik migas dunia.

Dalam buku sebelumnya, penulis malah mengusulkan untuk membangun kilang-kilang baru secara terbatas, yaitu membangun kilang minyak baru guna menambah dan menggantikan kilang yang sudah tua, sekaligus menekan impor minyak dan BBM sampai pada tingkat tertentu, misalnya 15%-20%. Opsi ini lebih murah namun juga lebih atraktif.

Tetapi secara konkrit, dalam usulan langkah lima tahun kepada presiden Indonesia terpilih pun (halaman 237), penulis tidak lagi menyebutkan tentang kebutuhan pembangunan kilang, malah menyampaikan usulan baru pada tahun keempat, yaitu adanya cadangan strategis minyak (halaman 245). Usulan ini adalah baik, namun ulasan yang disampaikan dangkal. Apalagi penulis tidak mempertimbangkan dan memasukkan informasi bahwa Dewan Energi Nasional sudah menggodok rencana tersebut bahkan sebelum presiden saat ini mulai bekerja.

Sempat membahas tentang keluarnya Indonesia dari OPEC, dan wacana untuk masuk sebagai OPIC (Organisation for Petroleum Importing Countries. Catatan: OPIC ini sendiripun masih dalam bentuk usulan untuk dibentuk), namun diakhiri dengan pertanyaan terbuka oleh penulis, tanpa ada usulan.

Lima tahun ke depan merupakan momentum penting dalam meletakkan dasar kebijakan dan kebangkitan industri migas kita di jangka panjang, dan usulan langkah yang disampaikan penulis merupakan poin-poin dasar yang sangat penting bagi Indonesia untuk mencapai ketahanan energinya. Namun sayang, walau bukunya sudah berjudul Minyak untuk Presiden, ulasan langkah tersebut hanya disampaikan secara singkat di beberapa lembar terakhir. Kalau sudah begini, siklus diskusi mengambang tanpa henti kan tetap saja terjadi, dan sementara itu, jangan-jangan minyak untuk rakyat sudah keburu habis duluan, apalagi untuk presiden.

No comments yet

Leave a Reply

You may use basic HTML in your comments. Your email address will not be published.

Subscribe to this comment feed via RSS