Buku: Petroleum Paradox: Natural Resources and Development in Indonesia, 1967-1997

Shortly, as a result of mismanagement and rampant coruption, in 1975 Pertamina would be engulfed in crisis. The company got overwhelmed in multiple financial problems and then went bangkrupt. It was difficult to explain, if one is using know business parameters in how an oil company could fall into bankruptcy while the oil price was at its heights after the energy crisis of 1972-1973. There is no management and economic theories could explain this pehnomenon except if one look at it from the political economy perspectives.
Petroleum Paradox: Natural Resources and Development in Indonesia, 1967-1997
Fransisca S.S.E Seda
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
177 halaman, Cetakan 2014
ISBN 978-979-456-569-8
Saya mendapatkan kesempatan sebagai pengulas saat buku berbahasa Inggris berjudul Petroleum Paradox: Natural Resources and Development in Indonesia, 1967-1997 yang ditulis oleh Fransisca S.S.E Seda, sosiolog dari Universitas Indonesia ini diluncurkan ke publik pada awal Desember lalu. Dalam lima tahun terakhir saya menemukan mulai banyak buku-buku yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang mengulas tentang dunia energi. Namun, ini kali pertama dari pengalaman saya untuk membaca sebuah buku tentang dunia energi di Indonesia, khususnya terkait minyak bumi, dari kacamata seorang sosiolog.
Dari sejarah, kita selama ini cukup terpapar dengan fakta bahwa Indonesia pernah menjadi negara produsen minyak bumi dunia dan devisa yang dihasilkan dari minyak bumi menjadi tulang punggung penggerak ekonomi. Namun, realitas saat ini dengan berat hati kita sadari juga bahwa hampir separuh dari kebutuhan BBM harus kita dapatkan dengan mengimpor dan besaran subsidi energi yang harus dialokasikan pemerintah dalam APBN sangat besar sehingga menghambat gerak pemerintah dalam membangun berbagai infrastruktur atau meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat.
Lalu mengapa minyak bumi, yang dulu digadang-gadang sebagai berkah bagi negeri ini malah sekarang menjadi masalah? Atau dalam bahasanya Seda melalui buku ini, dipertanyakan sebagai Petroleum Paradox; sumber daya alam (khususnya minyak bumi) adalah berkah atau kutukan?
Sebagai seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, Seda selama ini terkenal akan pemaparan pemikirannya tentang berbagai hubungan antar manusia atau masyarakat, termasuk juga tentang permasalahan Indonesia Timur. Namun melalui buku Petroleum Paradox ini, Seda secara baik menganalisis pembangunan Indonesia yang bertumpu kepada uang dari minyak bumi selama rentang waktu 1967-1997. Seperti yang disampaikan oleh penulis, buku ini merupakan nukilan dari disertasi yang ditulis berdasarkan penelitian di lapangan dan wawancara dengan banyak pihak di Jakarta dan Kalimantan Timur pada tahun 1997-1999.
Membandingkan dengan negara Venezuela sebagai sesama produsen minyak bumi dan menumpukan pertumbuhan ekonominya kepada minyak bumi semasa rentang waktu kajian, dan Korea Selatan dan Taiwan di sisi yang berseberangan sebagai negara yang miskin sumber daya alam dan harus mengembangkan industri, Seda secara komprehensif menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi di Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto; lebih baik jika dibandingkan dengan sesama Petro-states atau negara produsen minyak bumi, namun terpuruk jauh jika dibandingkan negara-negara yang mengembangkan industrinya.
Di bawah arahan langsung Soeharto, Ibnu Sutowo membangun Pertamina dengan menerapkan sistem Kontrak Bagi Hasil Produksi (atau lebih dikenal dengan istilah Production Sharing Contract), sehingga menjadi satu-satunya perusahaan milik negara yang memiliki kekuatan finansial yang begitu besar untuk menjalankan berbagai proyek industri nasional di hampir semua bidang. Pemasukan yang besar akibat tingginya harga jual minyak bumi selama periode oil boom, menjadikan pemerintahan Soeharto mempunyai modal yang cukup untuk membangun infrastuktur dan industri, pendidikan, juga pertanian. Selain itu, seperti yang dijelaskan Seda, Soeharto juga secara tepat memanfaatkan persaingan antara dua kubu tak resmi; Ibnu Sutowo dengan Pertamina dan kelompok nasioalisnya vs Bappenas dengan para teknokratnya yang berpaham pasar bebas. Setelah sebelumnya Pertamina dengan uang minyak bumi menggerakkan perekonomian, ketika harga minyak di dunia jatuh, Soeharto mengembangkan strategi industri berorientasi sesuai arahan dari para teknokrat Bapenas. Namun sayangnya, seperti Petro-states lainnya, Indonesia tidak lepas dari perangkap penyakit Belanda (dutch disease). De-regulasi yang digagas Bappenas malah memperlebar wilayah korupsi dari rezim Soeharto. Pendapatan negara yang selama ini didominasi dari kekayaan alam dan juga dana dari luar negeri, bukan dari pajak menyebabkan rendahnya transparansi. Rezim Soeharto tak tertahankan menjadi predator dari ekonomi negeri sendiri.
Membaca buku ini yang dipaparkan oleh Seda dari sudut pandang sosiologi, menjelaskan kepada saya mengapa selama rentang tahun 1967-1997 di bawah rezim Soeharto, minyak bumi yang semula berkah menjadi kutukan. Penjelasan Seda yang runtun dan jelas membuat buku ini menarik untuk dibaca. Laiknya sebuah disertasi ilmiah, buku ini juga kaya dengan teori pendukung dari berbagai literatur dunia yang menjelaskan setiap kejadian dari sudut pandang ilmu Sosiologi. Tapi mungkin Sosiologi adalah ilmu bercerita lewat kata sehingga sedikit sekali informasi visual yang bisa membantu saya untuk memahami buku ini. Lebih tepatnya hanya satu tabel dan sama sekali tidak ada gambar atau grafik, kecuali sebuah peta Indonesia dan tabel harga minyak Minas Indonesia di bagian akhir buku ini yang tidak jelas merujuk kepada bagian mana dari buku. Seda secara verbal menyampaikan bahwa ada kesulitan baginya untuk mendapatkan data dari institusi pemerintah selama penulisan.
Bagi saya, atau anda yang juga terbiasa untuk memahami sesuatu dengan informasi visual, sebuah grafik pertumbuhan GDP per kapita – salah satu indikator tingkat kemakmuran ekonomi suatu negara – selama rentang waktu 1967-1997 adalah sangat membantu. Menggunakan data publik yang bisa diakses dari situs Bank Dunia misalnya, kita bisa membuat grafiknya sehingga lebih mudah melihat bagaimana setelah beberapa tahun, diversifikasi yang dilakukan Soeharto dengan uang Pertamina berhasil membuat GDP per kapita Indonesia lebih baik dari pada Venezuela, namun korupsi rezim Soeharto pula melalui Pertamina telah membuat kita tertinggal jauh dibandingkan Korea Selatan dan Taiwan.
Sebagai pengetahuan, buku ini menjadi sebuah pendidikan energi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini awam terhadap realitas energi di negara kita. Edisi dalam bahasa Indonesia dan ketersediaan luas di seluruh toko buku Indonesia sehingga bisa menjangkau siapa saja adalah harapan dasar saya terhadap buku ini.
Namun, karena buku ini diluncurkan di saat pemerintahan Indonesia yang baru di bawah presiden Joko Widodo dan dalam kurun waktu tersebut sudah begitu banyak gejolak politik terkait energi yang terjadi, seperti kenaikan harga beli BBM bersubsidi saat harga minyak dunia turun, antrian di pelbagai stasiun pengisian BBM, dan pembentukan Komite Reformasi Tata Kelola Migas, tak tertahankan ada tuntutan besar juga akan buku ini.
Sebuah kebutuhan masyarakat akan penjelasan dari para akedemisi yang dipercayai netral untuk menjawab berbagai kebingungan. Mengapa uang minyak yang diterima oleh negara dulu tidak diinvestasikan untuk infrastruktur energi seperti kilang minyak bumi atau pipa distribusi gas bumi di dalam negeri? Mengapa di saat masyarakat kekurangan energi; industri meradang karena pasokan gas tidak mencukupi, masyarakat antri di stasiun BBM – namun minyak bumi dan (terutama) LNG tetap terus dijual keluar negeri? Mengapa negara tetangga – Malaysia dengan Petronasnya – mampu menghasilkan pendapatan yang jauh lebih tinggi dari pada Pertamina? Mengapa harga BBM terasa tidak transparan sehingga banyak polemik yang mengemuka? Dan rentetan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang belum terjawab oleh buku ini. Sebagai kelanjutan dari buku ini, jika ada, akan lebih baik mengulas keterkaitan sejarah dengan arahan apa yang harus dilakukan pemerintah sekarang. Sehingga harapannya pada satu titik nanti, masyarakat dapat tercerahkan bahwa sumber daya alam di bumi Indonesia ini adalah bukan kutukan, tetapi berkah bagi seluruh rakyat Indonesia.