Geopolitik Energi di Kawasan

Tulisan ini telah diterbitkan pada Rubrik Perspektif majalah EnergiView edisi bulan Desember 2014.
=
Dinamika geopolitik di kawasan berkembang sangat dinamis. Sejak menggabungkan diri sebagai organisasi bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara, atau lebih dikenal sebagai ASEAN, melalui Deklarasi Bangkok pada tahun 1967, kerjasama ini telah meningkatkan standar kehidupan bagi lebih dari 600 juta penduduknya. Memegang prinsip ASEAN Way, kerjasama ini mampu berperan menjaga stabilitas ekonomi dan politik di kawasan bahkan dunia. Netral namun berpengaruh dalam geopolitik dunia menjadikan ASEAN sebagai pusat penghubung dari berbagai negara dan kawasan.
Perhatian dunia terhadap ASEAN semakin meningkat akibat kinerja ekonomi yang baik di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Sorotan menjadi tinggi karena ASEAN sedang bersiap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku tahun 2015 nanti. MEA merupakan implementasi awal dari Visi ASEAN 2020 yang dicetuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-2 tahun 1997 di Malaysia. MEA memungkinkan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas guna terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya saing menghadapi kompetisi global.
Namun pertumbuhan ekonomi membuat permintaan energi meningkat pesat. Bersama dengan India dan Tiongkok, ASEAN telah menggeser pusat gravitasi energi dunia. ASEAN Centre for Energy (ACE), sebuah lembaga energi di bawah koordinasi ASEAN Secretariat, mencatat bahwa sejak tahun 2002, permintaan energi primer tumbuh rata-rata 7.5% setiap tahunnya hingga mencapai 620.37 juta ton setara minyak (Mtoe) pada tahun 2011 (ASEAN Energy Review and Statistics, 2013). Urbanisasi dan perkembangan industri yang menyokong pertumbungan ekonomi telah mendorong tingginya permintaan energi. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat karena tingkat konsumsi energi per orang saat ini masih setengah rata-rata dunia dan 20% penduduk belum memiliki akses ke energi.
Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan energi tersebut bergantung kepada bahan bakar fosil; minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Selama tahun 2002-2011, sekitar 80% adalah bahan bakar fosil. Dan dalam skenario Bussiness as Usual, walaupun pertumbuhan kebutuhan energi primer hingga tahun 2035 akan lebih lambat pada kisaran 3-4.5% pertahunnya, namun persentase bahan bakar fosil akan tetap sama.
Kondisi ini menimbulkan tekanan buat ASEAN, baik dalam konteks regional maupun masing-masing negara. Sebagai kesatuan kawasan, sejak tahun 1995 ASEAN adalah pengimpor minyak bumi akibat tidak sesuainya tingkat produksi dan permintaan. Tahun 2011, hampir 50% kebutuhan minyak bumi harus diimpor. Dan walaupun saat ini masih pengekspor gas (dalam bentuk LNG) dan juga batu bara, namun ASEAN Council on Petroluem (ASCOPE) dalam studi mereka terkait Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) Masterplan memperkirakan tahun 2017 nanti harus mengimpor gas bumi.
Tekanan yang besar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan domestik pada akhirnya memicu masing-masing negara untuk memainkan perannya sendiri-sendiri. Indonesia yang selama ini mengekspor LNG ke beberapa negara premium Asia dan tetangga di kawasan seperti Singapura mulai mengkaji pembatasan ekspor guna memenuhi kekurangan pasokan domestik. Pemerintah militer Thailand juga sempat menghentikan ekspor produk BBM kepada negara perbatasan seperti Kamboja dan Laos.
Singapura terus memainkan peranan yang sangat tinggi sebagai oil-hub di kawasan. Bahkan Singapura juga genjar mengupayakan diri sebagai LNG-hub, menghadapi persaingan dari rencana Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam yang juga membangun terminal penerima. Myanmar juga akhirnya memutuskan untuk mengalokasikan pasokan gas mereka ke Tiongkok dibanding untuk negara ASEAN.
Sedangkan Vietnam, negara dengan pertumbuhan energi tinggi dan diperkirakan sebagai tiga besar pengkonsumsi energi pada tahun 2030 nanti setelah Indonesia dan Thailand, sudah memulai konstruksi PLTN di saat negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand masih berkutat dalam tataran wacana dan rencana. Satu unit PLTN 1.000MW yang didukung oleh Rusia akan mulai beroperasi tahun 2021, dan hingga tahun 2030 akan berjumlah 15.000MW atau 10% dari total pembangkit. Isu kesiapan Vietnam dalam pengelolaan PLTN menimbukan pertanyaan dari negara-negara sekitar terutama penanganan jika terjadi bencana.
Kondisi berbeda ditunjukkan dengan proyek energi lintas negara. Walaupun dalam berbagai pertemuan tingkat menteri maupun pemimpin negara, berulang kali dinyatakan komitmen terhadap proyek infrastruktur energi regional seperti ASEAN Power Grid (APG) dan Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP), namun progres di lapangan tidak seperti yang diharapkan banyak pihak. Rentang perbedaan level ekonomi yang cukup lebar, kondisi politik dalam negeri, dan masih rendahnya rasa kebersamaan sebagai satu entitas wilayah menjadi beberapa faktor yang menghambat.
Padahal terlepas dari hal itu semua, ASEAN sebagai sebuah entitas adalah sangat menarik bagi berbagai negara dan kekuatan dunia. Dalam konteks kerjasama di tingkat regional, pemerintahan Jepang melalui kementrian dan berbagai institusi energi yang ada di bawahnya sudah sejak lama mendukung banyak kegiatan energi di ASEAN mulai dari kerjasama bidang minyak penyangga nasional, efisiensi dan konservasi energi hingga pengembangan energi terbarukan. Di tingkat nasional pun tidak sedikit kucuran dana yang disalurkan untuk membantu negara-negara di ASEAN mengembangkan energinya baik dalam konteks menyiapkan kebijakan maupun infrastruktur. Sejarah kerjasama yang panjang ini membuat Jepang menjadi cukup berpengaruh dalam geopolitik energi di kawasan.
Namun beberapa tahun terakhir, negara mitra dialog lainnya seperti Tiongkok dan Korea Selatan juga meningkatkan kerjasama mereka, baik dalam konteks ASEAN+3 maupun bilateral. Ketiga negara ini secara agresif terus melakukan pendekatan. Sebagai contoh dalam hal teknologi PLTN sebagai antisipasi negara-negara ASEAN yang mulai melirik nuklir. Jepang memiliki sejarah panjang menyediakan berbagai pelatihan untuk para pembuat kebijakan dan pelaku teknis. Korea Selatan dalam enam tahun terakhir, selain terus bekerja sama secara bilateral juga sukses mengenalkan teknologi nuklir mereka melalui berbagai pelatihan bagi ASEAN. Dan yang terbaru, dengan perkembangan pembangunan teknologi nuklir yang luar biasa pesat, Tiongkok semakin percaya diri mendekati negara-negara ASEAN.
Menyadari akan semakin pentingnya ASEAN, presiden Barrack Obama bahkan pada tahun 2012 meluncurkan program U.S.-Asia Pacific Comprehensive Energy Partnership. Banyak pihak berpendapat bahwa ini adalah salah satu langkah Amerika untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di peta geopolitik energi kawasan Asia Tenggara.
Lebih lanjut, saat ini ada beragam kerjasama multilateral dalam ASEAN seperti ASEAN+3, ASEAN+6 (atau sekarang East Asia Summit), dan ASEAN Regional Forum (ARF). East Asia Summit (EAS) adalah forum tahunan negara-negara pan-Asian yang dihadiri oleh pemimpin dari 18 negara di kawasan Asia Timur. Awalnya hanya dengan mitra dialog; Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru. Namun pada tahun 2011, Rusia dan Amerika Serikat bergabung. Pertemuan yang digelar setelah pertemuan pemimpin ASEAN ini setiap tahunnya membicarakan topik kerjasama terhangat di kawasan seperti perdagangan, energi dan keamanan. Sedangkan di ARF, selain 18 negara EAS, bergabung juga Bangladesh, Kanada, Uni Eropa, Korea Utara, Mongolia, Pakistan, Papua Nugini, Timor Timur, and Sri Lanka. Semua kerjasama multilateral ini menempatkan ASEAN sebagai tuan rumahnya. Oleh karenanya, memasuki MEA 2015 nanti adalah sangat penting bagi 10 negara di ASEAN untuk bersatu memainkan peran yang lebih tinggi dalam peta geopolitik di kawasan termasuk bidang energi guna membangun ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas kawasan dan dunia.